Monday, March 5, 2012

MAKALAH ULUMUL HADITS

Penelitian Sanad dan Matan Hadits

BAB I
PENDAHULUAN

      Hadits merupakan sumber hukum (ajaran) Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Selain itu, hadits juga berfungsi sebagai penjelas bagi Al-Qur’an, yaitu menjelaskan ayat-ayat yang global, mengkhususkan yang umum dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
     Ditinjau dari jumlah perawinya, hadits dibagi menjadi dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Menurut para ulama hadits, hadits yang menjadi objek penelitian adalah hadits ahad (baik yang masyhur, maupun yang aziz), sedangkan hadits mutawatir tidak menjadi objek penelitian, karena hadits mutawatir tidak diragukan lagi keshahihanya.
      Secara struktur, hadits terdiri atas dua komponen utama, yaitu sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Keduanya merupakan bagian yang akan menjadi objek penelitian suatu hadits.
Dengan demikian, tujuan utama penelitian hadits adalah untuk menilai apakah secara historis sesuatu yang disebut sebagai hadits itu benar-benar dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya atau tidak. Hal itu sangat penting, karena kedudukan kualitas hadits erat sekali hubungannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadits dijadikan sebagai hujjah agama.
     Untuk itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan bagaimana langkah-langkah penelitian matan dan sanad, serta bagaimana pula pertumbuhan, manfa’at dan faktor-faktor yang mendorong dilakukannya penelitian tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Penelitian Hadits (Kritik Sanad dan Matan)

    Sebagian ulama memberi istilah untuk hadits Nabi dengan wahyu ghair al-matlu (tidak dibaca dan karenanya tidak ditulis), sebagai imbangan terhadap istilah untuk Al-Qur’an yang disebutnya dengan wahyu al-matlu (yang dibaca dan karenanya ditulis).
    Terlepas dari tepat atau tidaknya pernyataan bahwa hadits Nabi adalah wahyu ghair al-matlu, maka yang pasti bahwa Allah telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad sebagai Rasulullah dengan fungsi dan atau tugas antara lain untuk : menjelaskan Al-Qur’an, dipatuhi oleh orang-orang yang beriman, menjadi uswah hasanah dan rahmat bagi seluruh alam. Selain itu beliau juga manusia biasa, seorang suami, seorang ayah, seorang anggota keluarga, seorang teman, seorang pengajar, seorang pendidik, seorang mubalig, seorang hakim, dan seorang kepala negara. Disamping itu, ada pula hal-hal khusus yang oleh Allah hanya diperuntukkan bagi Nabi sendiri dan tidak untuk umatnya, misalnya berpoligami (berpoligini) lebih dari empat orang isteri.
    Berdasarkan pemahaman tersebut, maka untuk mengetahui hal-hal yang harus diteladani dan yang tidak harus diteladani dari diri Nabi, diperlukan penelitian. Dengan demikian akan dapat diketahui hadits Nabi yang berkaitan dengan ajaran dasar Islam, praktek Nabi dalam mengaplikasikan petunjuk Al-Qur’an sesuai dengan tingkat budaya masyarakat yang sedang dihadapi oleh Nabi, dan sebagainya.
     Selanjutnya menurut sejarah, tidaklah seluruh hadits telah ditulis pada zaman Nabi. Hadits yang tertulis, baik secara resmi, misalnya berupa surat-surat Nabi kepada para penguasa non-muslim dalam rangka dakwah, maupun yang tidak resmi berupa catatan-catatan yang dibuat oleh para sahabat tertentu atas inisiatif mereka sendiri, jumlahnya tidak banyak. Selain itu, hadits Nabi juga pernah mengalami pemalsuan-pemalsuan. Pada zaman Nabi, pemalsuan hadits belum pernah terjadi. Dalam sejarah, pemalsuan hadits mulai berkembang pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Hal-hal yang berkenaan dengan hadits tersebut merupakan sebagian dari faktor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadits. Faktor-faktor penting lainnya adalah proses penghimpunan hadits ke dalam kitab-kitab hadits memakan waktu cukup lama sesudah Nabi wafat, jumlah kitab hadits sangat banyak dengan metode penyusunan sangat beragam, dan telah terjadi periwayatan hadits secara makna.
     Akibat lebih lanjut dari faktor-faktor tersebut adalah keharusan adanya penelitian sanad dan matan hadits dalam kedudukan hadits sebagai hujah (hujjah). Dengan dilakukan kegiatan kritik sanad dan matan, maka akan dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadits Nabi itu memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi.

B. Bagian yang Harus Diteliti

      Hadits yang dihimpun oleh para ulama memiliki keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang berbeda-beda. Kaidah kritik sanad dan matan hadits dapat diketahui dari pengertian istilah hadits shahih. Menurut para ulama hadits, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Al-Shalah yang dikutip oleh Muhammad Ahmad dan M. Mudzakkir, hadits shahih adalah :
الحَدِيْثُ المُسْنَدُ الذِي يَتَّصِلُ اِسْنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَّابِطِ
الى مُنْتَهَاهُ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًا ولاَ مُعَلَّلاً
“hadits yang bersambung sanadnya (sampai Rasulullah), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dzabit sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat)”.
      Dari pengertian hadits shahih diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur hadits shahih adalah :
1. Sanad bersambung.
2. Periwayat bersifat adil.
3. Periwayat bersifat Dzabit.
4. Dalam hadits tidak terdapat kejanggalan (syudzudz).
5. Dalam hadits tidak terdapat cacat (‘illat).
      Ketiga unsur yang disebutkan pertama kali adalah berkenaan dengan sanad, sedangkan dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan hadits. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah keshahihan hadits ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan.
1. Unsur-unsur Kaidah dalam Kritik Sanad
      Unsur-unsur kaidah kritik sanad bila dilihat dari syarat-syarat seorang periwayat dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yaitu yang Pertama adil, yaitu : (1) beragama Islam. Periwayat hadits ketika mengajarkan hadits harus telah beragama Islam, karena kedudukan periwayat hadits dalam Islam sangatlah mulia; (2) harus sudah Mukallaf. Syarat ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW, bahwa orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas dari tanggung jawab; (3) melaksanakan ketentuan agama, yakni teguh melaksanakan adab-adab syara’; dan (4) memelihara muru’ah. Muru’ah yaitu adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan.
      Sementara itu, syarat periwayat yang kedua adalah dhabit, yaitu : (1) kuat ingatan dan kuat pula hafalannya (tidak pelupa); (2) memelihara hadits, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, dan ketika ia meriwayatkan hadits berdasarkan catatannya atau sama dengan catatan ulama yang lain (dhabit al-kitab), serta mampu menyampaikan riwayat hadits yang dihafalnya kepada orang lain dengan baik.
      Unsur-unsur kaidah kritik sanad bila dilihat dari sifat hadits, maka dapat dibagi menjadi empat unsur, yaitu : (1) muttashil (bersambung); (2) marfu’ (bersandar pada Nabi SAW); (3) mahfuzh (terhindar dari syudzudz); dan (4) bukan mu’all (bercacat).
      Pada zaman tabi’in dan at-tabi’in, penelitian hadits dilakukan dengan cara mengacu pada beberapa ketentuan bahwa hadits dapat diterima jika diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, baik dalam shalat dan akhlaknya, serta dikenal memilki pengetahuan hadits. Sebaliknya, hadits tidak dapat diterima jika perawinya tidak tsiqah, suka berdusta dan mengikuti hawa nafsu, tidak memahami hadits yang diriwayatkannya, serta orang yang ditolak kesaksiannya.
      Menurut al-Nawawiy (wafat 676 H = 1277 M) yang dikutip oleh syuhudi Ismail, persyaratan hadist shahih adalah; (1) rangkaian periwayat dalam sanad hadist itu harus bersambung dari periwayat pertama sampai periwayat terakhir; (2) para periwayat dalam sanad hadist itu haruslah orang – orang yang dikenal tsiqah dalam arti adil dan dhabith; (3) hadist itu terhindar dari cacat (‘illat) dan kejanggalan (syudzudz); (4) para periwayat yang terdekat dalam sanad harus sezaman.

2. Unsur-unsur Kaidah dalam Kritik Matan
      Kaidah – kaidah kritik matan ada dua macam, yakni terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illat. Banyak ulama hadist yang berbeda pendapat dalam mengategorikan hadist shahih seperti; Al-Khatib Al-Bagdadi (wafat 463 = 1072 M) mengatakan bahwa hadist maqbul (diterima) sebagai matan hadist yang shahih apabila memenuhi unsur–unsur sebagai berikut :
1) Tidak bertentangan dengan akal sehat.
2) Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang tetap).
3) Tidak bertentangan dengan hadist mutawatir.
4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama shalaf)
5) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti.
6) Tidak bertentangan dengan hadist Ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
      Itulah beberapa tolak ukur sebuah hadist, maka dari itu, tidaklah dikatakan hadist shahih, apabila matannya bertentangan dengan unsur-unsur di atas.
      Ibn Al-Jawzi (wafat 597 H = 210 M) memberikan tolak ukur keshahihan matan secara singkat, yaitu; setiap hadits yang bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti tergolong hadist maudhu’, karena Nabi Muhammad SAW tidak mungkin menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama, seperti masalah aqidah dan ibadah.
      Menurut Al-Din Al-Adabi yang dikutip oleh Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam mengambil jalan tengah diantara dua pendapat diatas, ia mengatakan bahwa kriteria keshahihan matan ada empat yaitu :
1) Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an.
2) Tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat.
3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
4) Susunan pertanyaannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Sedangkan menurut jumhur ulama, tanda–tanda matan hadits yang palsu yaitu :
1) Susunan bahasanya rancu.
2) Isinya bertentangan dengan akal sehat dan sangat sulit dipahami secara rasional.
3) Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama Islam.
4) Isinya bertentangan dengan hukum dan sunnatullah.
5) Isinya bertentangan dengan sejarah pasti.
6) Isinya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an ataupun hadits mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti.
7) Isinya berada diluar kewajaran, bila diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.
      Sedangkan menurut Muhammad Al-Ghazali, keshahihan matan hadits dapat dibagi menjadi tujuh kriteria, yaitu :
1) Matan Hadits sesuai dengan Al-Qur’an.
2) Matan Hadits sejalan dengan matan hadits shahih lainnya.
3) Matan Hadits sejalan dengan fakta sejarah.
4) Redaksi matan hadits menggunakan bahasa Arab yang baik.
5) Kandungan matan hadits sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran agama Islam.
6) Hadits itu tidak bersifat syadz (salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).
7) Hadits tersebut harus bersih dari ‘illat qadhihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadits, sehingga mereka menolaknya).

C. Waktu Penelitian Hadits
      Karena Hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam serta sebagai keterangan dari Al-Quar’an yang bersifat umum, maka tidaklah sembarangan mengadakan penelitian terhadap hadits. Oleh karena itu, selain syarat – syarat yang ada pada hadits yang akan diteliti haruslah sesuai dengan kategori hadits shahih, seseorang yang akan meneliti sebuah hadits (menurut Muhammad Al-Ghazali) haruslah ;
      Pertama, ia haruslah memahami Al-Qur’an dan cabang–cabang Ilmunya secara mendalam. Hal ini penting karena Al-Qur’an merupakan referensi pokok dalam Islam.
Kedua, Ia harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang riwayat–riwayat dan matan hadits. Keahlian tersebut penting bukan hanya untuk mengetahui ketersambungan sanadnya, tetapi juga untuk mengetahui kualitas individu–individu yang ikut serta dalam periwayatan hadits tersebut. Selain itu juga untuk mengetahui kualitas matan sebuah hadits.
      Ketiga, Ia harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hal dan peristiwa yang melingkupi kemunculan suatu hadits, sehingga ia dapat memposisikan hadits dihadapan Al-Qur’an secara proposional.

D. Beberapa Masalah dalam Penelitian Sanad dan Matan
      Dalam kegiatan kritik sanad, beberapa masalah sering dihadapi oleh peneliti hadits, misalnya adanya periwayat yang tidak disepakati kualitasnya oleh para kritikus hadits, adanya sanad yang mengandung lambang-lambang anna ’an, dan semacamnya, dan adanya matan hadits yang memiliki banyak sanad, tetapi semuanya lemah (dha’if).
      Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, sikap kritis peneliti sangat diperlukan, baik terhadap para kritikus, maupun argumen yang digunakan oleh mereka dalam melakukan kritik. Untuk itu, perlu diperhatikan apakah kritikus yang bersangkutan termasuk mutasyaddid (ketat), mutawasith (moderat), attaukah mutahasil (longgar) dalam menilai periwayat, seberapa jauh penggetahuan kritikus terhadap periwayat yag dikritiknya, serta apakah antara kritikus dan yang dikritik tidak terdapat persoalan, misalnya perbedaan mazhab dan entimen pribadi. Di samping itu, kritik yang mereka ajukan apakah disertai argumen ataukah tidak, dan bila disertai argumen, maka apakah argumen itu relevan dengan isi kritiknya ataukah tidak.
      Untuk menghadapi sanad yang mengandung lambang-lambang anna (yang haditsnya disebut muu’anan), dan semacamnya, maka diperlukan kecermatan ekstra dalam meneliti keadilan dan ke-dhabith-an periwayat yang manggunakan lambang-lambang itu, serta hubungan periwayatnya dengan periwayat sebelumnya yang dihubungkan oleh lambang-lambang tersebut. Dalam sanad mu’annan, mu’an’an, dan yang semacamnya sering terdapat tadls (penyembunyian cacat), yang adakalanya tadlis itu berupa keterputusan sanad.
      Untuk menghadapi suatu hhadits yang sanadnya banyak, tetapi semuanya dha’if, maka dalam hal ini perlu ditela’ah letak ke-dha’if-annya.
      Adapun masalah yang sering dihadapi dalam kegiatan kritik matan adalah masalah metodologis dalam penerapan tolak ukur kaidah kritik matan terhadap matan yang sedang diteliti. Dalam hal ini, peneliti harus memiliki pengetahuan yang luas, khususnya berkenaan dengan ajaran Islam, metode ijtihad, liku-liku kapasitas Nabi dalam menyampaikan hadits, dan kearifan Nabi dalam menghadapi masyarakat.
      Sering pula peneliti menghadapi matan-matan hadits yang diteliti tampak bertentangan. Dalam hal ini, harus diteliti ulang lebih cermat terhadap semua sanad hadits yang bersangkutan. Bila ada yang shahih dan ada yang dha’if , maka yang dha’if dinyatakan sebagai mardud (ditolak sebagai hujjah). Bila masing-masing matan ternyata bersanad shahih, jadi sama-sama maqbul (diterima sebagai hujjah), maka langkah awal yang harus ditempuh adalah dengan menggunakan mettode al-jam’u atau al-taufiq (pengkompromian). Apabila metode itu tidak mungkin dilakukan, maka dapat dipertimbangkan penggunaan metode al-nasikh wa al mansukh, yang al-nasikh berstatus ma’mul bih (diamalkan), sedangkan yang al-masukh berstatua ghair al-ma’mul bih (tidak diamalkan). Metode ini baru dapat digunakan bila hadits yang diteliti memiliki sabab wurud (sebab terjadinya hadits), bila sabab wurud hadits itu ternyata tidak ada, maka menggunakan metode berikutnya, yakni al-tarjih (yang dalam ilmu hadits lebih dari lima puluh macam). Apabila metode al-tarjih sulit ditempuh, maka terpaksa menggunakan metode al-tauqif (membiarkan ementara waktu sampai ditemukan jalan penyelesaiannya).

BAB III
KESIMPULAN

      Dari pembahasan yang telah kami uraikan diatas, dapat kami simpulkan bahwa penelitian sanad dan matan hadist sangatlah perlu dilakukan, karena menurut sejarah hadits pada zaman Nabi Muhammad SAW, hadits belum ditulis dan dibukukan, setelah zaman Nabi Muhammad SAW. terjadi banyak pemalsuan hadits, serta pengumpulan hadits secara massal dilakukan setelah banyaknya pemalsuan hadits tersebut.
      Bagian–bagian yang harus diteliti adalah sanad yang mempunyai syarat–syarat tertentu yang telah dikutip diatas sebagai syarat hadits shahih. Setelah itu matan hadits juga perlu diteliti, sebab matan hadits tidak mungkin berlawanan dengan Al-Qur’an dan bertentangan dengan akal. Sebab mustahil bagi Rasulullah mengungkapkan sesuatu diluar nalar manusia.
      Untuk meneliti suatu hadits, peneliti harus memiliki sejumlah pengetahuan penting, khusunya yang berkaitan dengan ajaran Islam, ulum al-hadits (termasuk ‘ilmu al-rijal, al-jarh wa al-ta’dil, dan metodologi penelitiannya), serta beberapa ilmu sosial. Karena kegiatan penelitian hadits menuntut kecerdasan, penguasaan sejumlah pengetahuan, kesungguhan, dan tanggung jawab keilmuan dan keagamaan terhadap yang melaksanakannya, maka kegiatan penelitian hadits termasuk salah satu kegiatan ijtihad.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dr. M. 1999. Pergeseran Pemikiran Hadits Ijtihad Al-Hakim
     dalam Menentukan Status Hadits. Jakarta : Paramadina.
Ahmad, Drs. H. Muhammad, Mudzakir, Drs. M. 2004. Ulumul Hadis. Bandung :
     Pustaka Setia, 2004.
Al-Munawar, Dr. H. Said Agil Husain, M. A. 1996. Ilmu Hadis. Jakarta : Gaya
     Media Pratama.
Bustamin, Salam, M. Isa H. A. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta : PT. Raja
     Grafindo Persada.
Ismail, Prof. Dr.H. M. Syuhudi. 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar
     dan Pemalsunya. Jakarta : Gema Insani Press
Ismail, Prof. Dr. H. M. Syuhudi. 1995. Kaedah Kasahihan Sanad Hadis. Jakarta :
     PT. Bulan Bintang.






No comments:

Post a Comment