BANK ASI
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Disusun Oleh:
Khasan Fauzi
2021111067
STAIN PEKALONGAN
2013
PENDAHULUAN
Allah telah memberi rezeki kepada bayi berupa susu bayi yang berasal dari ibunya. Susu ibu mengandung 1,6 % Albuminoidal, 0,4 % lemak,
3,8 % gula, garam, dan beberapa vitamin. Kandungan tersebut hanya terdapat pada
susu ibu, dan tidak terdapat pada yang lainnya. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada
susu bagi bayi yang lebih baik dibandingkan dengan susu ibu”.
Pemerintah juga sering memberikan himbauan mengenai
pemberian ASI pada bayi, yang ditujukan agar tumbuh kembang bayi bisa berjalan
optimal serta dapat tumbuh sehat dan normal. Kebutuhan akan air susu ibu (ASI)
telah disadari banyak kalangan. Dengan tumbuhnya kesadaran ini menyebabkan
munculnya masalah baru, yakni bagi kalangan ibu yang kesulitan bahkan tidak
bisa memberikan air susunya (ASI) pada bayinya, sehingga muncul ide untuk
mendirikan bank ASI.
Para pendonor ASI baik itu dengan upah ataupun tidak
memberikan suplai ASI kepada bank ASI, kemudian ASI tersebut didistribusikan
untuk mereka yang membutuhkan. Tidak ada catatan pasti sejak kapan ide
pendirian bank ASI itu muncul dan mulai dikembangkan. Dan juga tidak ada hukum
yang pasti mengenai Bank ASI, apakah diperbolehkan atau tidak. Untuk itu, dalam
makalah ini akan membahas tentang bank ASI menurut perspektif hukum Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank ASI
Bank ASI merupakan wadah
atau tempat untuk menyimpan dan menyalurkan ASI dari pendonor ASI, yang
kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri
kepada bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi
pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang
didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para
ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank
ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang
sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada
anaknya.
Semua ibu pendonor
diseleksi dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok,
tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan
ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B
dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan
sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit
TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis
atau riwayat kanker.[1] Berdasarkan hadits-hadits,
seseorang seharusnya menghindari untuk memilih seorang ibu susu yang bisu,
gila, pelaku kejahatan, bermata lemah, Yahudi, Kristen, Majusi, atau peminum
alcohol untuk menyusui bayinya. Hal ini disebabkan kondisi (kejiwaan) mereka dapat
ditransfer ke bayi melalui susu.[2]
B. Hukum
Mengenai Bank ASI
Seorang
bayi boleh saja menyusu kepada wanita lain, bila air susu ibunya tidak memadai,
atau karena suatu hal, ibu kandung bayi tidak dapat menyusuinya. Status ibu
yang menyusukan seorang bayi, sama dengan ibu kandung sendiri, tidak boleh
kawin dengan wanita itu, dan anak-anaknya. Dalam hukum islam disebut sebagai
saudara sepersusuan. Gambaran yang dikemukakan jelas bahwa siapa wanita yang
menyusukan dan siapa pula bayi yang disusukan itu hukumnya jelas yaitu sama
dengan mahram. Sekarang yang menjadi perrsoalan ialah, air susu yang disimpan
pada Bank ASI, maka air susu itu sama saja seperti darah yang disumbangkan
untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana darah boleh diterima dari siapa saja dan
boleh diberikan kepada yang memerlukannya, maka air susupun demikian juga
hukumnya.
Bedanya
ialah darah najis, sedangkan air susu bukan najis. Oleh sebab itu, darah baru
dapat dipergunakan dalam keadaan darurat atau terpaksa. Namun timbul lagi
pertanyaan bagaimana hubungan antara donor ASI dengan bayi yang menerimanya?
Apakah sama dengan ar-Radha’ah atau saudara sepersusuan?
Menurut
Ali Hasan, agak sukar menentukan atau mengetahui donor asli itu, sebagaimana
donor darah. Dengan demikian, baik ibu “susuan”, maupun “anak susuan”, tidak
saling mengenal. Hal ini berarti, masalah pemanfaatan air susu dari Bank ASI,
tidak dapat disamakan dengan ar-Radhaah. Pemanfaatan air susu dari Bank ASI
adalah dalam keadaan terpaksa (bukan karena haram). Sebab, selagi ibu si bayi
itu masih mungkin menyusukan anak itu, maka itulah sebenarnya yang terbaik.
Hubungan psikologis antara si bayi dan ibunya terjalin juga dengan mesra pada
saat menyusukan bayi itu. Si bayi merasa disayangi dan si ibu pun merasakan
bahwa air susunya akan menjadi darah daging anak itu. Berbeda, kalau air susu
yang diminum anaknya itu berasal dari orang lain. Pertumbuhan dan perkembangan
anak itu, dibantu oleh pihak lain, sebagaimana air susu sapi yang kita kenal
selama ini, dan makanan yang khusus dibuat (diproduksi) untuk bayi.[3]
1.
Memperhatikan
Perbedaan
pendapat mengenai Bank ASI
a.
Pendapat
Pertama
menyatakan
bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Di antara alasan mereka sebagai
berikut: Bayi yang mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram
bagi perempuan yang mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan
adalah jika dia menyusu langsung dengan cara menghisap puting payudara
perempuan yang mempunyai ASI, sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya.
Sedangkan dalam bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Ulama
besar semacam Prof.Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa dia tidak menjumpai
alasan untuk melarang diadakannya “Bank ASI.” Asalkan bertujuan untuk
mewujudkan mashlahat syar’iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan
yang wajib dipenuhi.
Beliau
cenderung mengatakan bahwa bank ASI bertujuan baik dan mulia, didukung oleh
Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab
kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru
dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Beliau
juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk
makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah SWT,
dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air
susunya, bukan sekadar menyumbangkannya. Sebab di masa Nabi (Muhammad) s.a.w.,
para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian.
Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan
Al-Qardhawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan
“air susu” itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh
bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan
mudah-mudahan memperoleh pahala.
Selain
Al-Qaradhawi, yang menghalalkan bank ASI adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad
Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan
mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang
laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti
dari satu saksi laki-laki.
Bila
tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan
hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.
b.
Pendapat
Kedua
menyatakan bahwa mendirikan
Bank ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan
tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan
sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan
langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya.
Di
antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya Bank ASI adalah Prof.
Dr. Wahbah Az-Zuhayli. Dalam kitab Fatawa Mu’ashirah, beliau menyebutkan
bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syariah.
Demikian
juga dengan Majma’ al-Fiqih al-Islamiy melalui Badan Muktamar Islam yang
diadakan di Jeddah pada tanggal 22–28 Desember 1985 M./10–16 Rabiul Akhir 1406
H.. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air
susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank
tersebut.
c.
Pendapat
Ketiga
menyatakan bahwa pendirian
Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di
antaranya : setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat
khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain.
Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus
diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan
demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang
bisa dihindari.
Prof.DR. Ali Mustafa Ya’qub, MA., salah
seorang Ketua MUI Pusat menjelaskan bahwa tidak ada salahnya mendirikan Bank
ASI dan Donor ASI sepanjang itu dibutuhkan untuk kelangsungan hidup anak
manusia. “Hanya saja Islam mengatur, jika si ibu bayi tidak dapat mengeluarkan
air susu atau dalam situasi lain ibu si bayi meninggal maka si bayi harus
dicarikan ibu susu. Tidak ada aturan main dalam Islam dalam situasi tersebut
mencarikan susu sapi sebagai pengganti, kendatipun zaman nabi memang tidak ada
susu formula tapi susu kambing dan sapi sudah ada,” . ini berarti bahwa
mendirikan Bank ASI dan donor ASI boleh-boleh saja karena memang Islam tidak
mentoleransi susu yang lain selain susu Ibu sebagai susu pengganti dari susu
ibu kandungnya.
Hanya saja pencatatannya harus benar dan
kedua keluarga harus dipertemukan serta diberikan sertifikat. Karena 5 kali
meminum susu dari ibu menyebabkan menjadi mahramnya si anak dengan keluarga si
ibu susu. Artinya anak mereka tidak boleh menikah.
Menurut Prof. Ali, masalah menyusu langsung
atau tidak langsung, itu hanya masalah teknik mengeluarkan susu saja, hukumnya
sama. “Jika sudah 5 kali meminum susu maka jatuh hukum mahram kepada keduanya.
Terjadinya perbedaan pandangan ulama mengenai
hal tersebut di atas disebabkan adanya perbedaan dalam memahami tentang apa itu
“radha’ah”, berapa batasan umur, bagaimana cara menyusui dan berapa kali
susuan:
a)
Pengertian
ar-Radha’
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar
-radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang
menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan
Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam
tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah
sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah
mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap
puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu
tersebut atau sejenisnya.
b)
Batasan
Umur
Para
ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui
yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya
adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman
Allah swt:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)
Hadist Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ
مِنَ الْمَجَاعَةِ
“
Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar”(HR
Bukhari dan Muslim).
c)
Jumlah
Susuan
Madzhab
Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah
melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra
berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا
أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ
نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
“Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi
mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan
lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an
masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim)
d)
Cara
Menyusu
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah
sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan
tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung,
ataupun dengan cara “السعوط”as su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau
dengan cara “الوجور”/al- wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya),
atau dengan cara yang lain.[4]
2.
Mengingat
Perdebatan
dari segi dalil[5]
Setidaknya
ada dua syarat penyusuan yang diperdebatkan. Pertama, apakah disyaratkan
terjadinya penghisapan atas puting susu ibu? Kedua, apakah harus ada saksi
penyusuan?
a.
Haruskah
Lewat Menghisap Puting Susu ?
Kalangan yang membolehkan
bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi minum air susu dari bank susu,
tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada di bank itu.
Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan. Sebab yang
namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.
Mereka berdalil dengan
fatwa Ibnu Hazm, di mana beliau mengatakan bahwa sifat penyusuan haruslah
dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui dengan mulutnya.
Dalam fatwanya, Ibnu Hazm
mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan
botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, atau dimakan bersama
roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam mulut, hidung, atau
telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak
mengakibatkan kemahraman.
Dalilnya adalah firman
Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ
وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ
مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS An-Nisa':23).
Menurut Ibnu Hazm, proses
memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus terjadi sebagai syarat
dari penyusuan.
Sedangkan bagi mereka yang
mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria menyusu harus dengan proses bayi
menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah meminumnya, bukan
cara meminumnya.
Dalil yang mereka kemukakan
juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang menyebutkan bahwa kemahraman itu
terjadi ketika bayi merasa kenyang.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ اُنْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ, فَإِنَّمَا
اَلرَّضَاعَةُ مِنْ اَلْمَجَاعَةِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Dari
Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perhatikan saudara
laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu.
(HR Bukhari dan Muslim)
Dari
Aisyah ra dia menceritakan : “ Diantara ayat-ayat
yang diturunkan dalam Al-quran adalah sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi
mengharamkan ( orang yang menyusui dan disusui menikah ), kemudian dinash ( di
hapuskan ) dengan lima kali penyusuan yang dimaklumi, lalu Rasulullah saw
wafat, sedang ayat tersebut masih tetap dibacakan sebagai ketetapan Al-Quran “ (
HR. Muslim dan Ibnu Majah)
b.
Haruskah
Ada Saksi ?
Hal lain yang menyebabkan
perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian ulama mengatakan bahwa untuk
terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka harus ada saksi.
Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama lainnya mengatakan
tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang menyusui saja.
Bagi kalangan yang
mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu
harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua
orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas
penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman
antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.Sehingga tidak perlu ada
yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh para bayi
menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan itu
malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya adalah bahwa
sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada saksi), maka
tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila tidak ada
saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan menurut ulama
lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. Yang penting cukuplah
wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi yang minum susu
dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang
menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam
tingkat yang sangat luas. Dari pada kacau balau, maka mereka memfatwakan bahwa
bank air susu menjadi haram.
3.
Memutuskan
Dengan memohon rahmat serta hidayah dari
Allah SWT, memutuskan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan. Tetapi jika telah
memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang
dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi
nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang
mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik
ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang
dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
4.
Rekomendasi
Pemberian ASI ke bayi dengan ASI yang berasal
dari bank ASI sebisa mungkin untuk dihindari, karena menolak mudharat itu lebih
diutamakan dari pada mengambil kemaslahatan. Untuk menghindari percampuran
nasab yang akan menyebabkan masalah baru yang lebih komplek. Tetapi jika dalam
keadaan terpaksa dan mendesak sesekali boleh menggunakan jasa bank ASI.
Jika telah memenuhi syarat yang telah
dijelaskan di atas, maka boleh saja menggunakan ASI dari bank ASI.
C.Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa bank ASI muncul karena tumbuhnya kesadaran di kalangan masyarakat akan
pentingnya ASI bagi tumbuh kembang bayi, serta banyaknya kaum ibu yang tidak
bisa memberikan ASInya secara normal pada bayinya. Bank ASI merupakan tempat
penampungan ASI yang kemudian ditistribusikan kepada kalangan-kalangan yang
membutuhkan ASI untuk bayinya. Pemanfaatan air susu dari Bank ASI, adalah dalam keaadan terpaksa. Sebab,
selagi ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan anaknya, maka itulah yang
terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Ansarian, Husayn. 2002. Membangun Keluarga yang Dicintai Allah: bimbingan
lengkap sejak pra-nikah hingga mendidik anak, Terj. Ali bin Yahya. Jakarta:
Pustaka Zahra.
Mahjuddin. 2003. Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum
Islam Masa Kini, Cet. V. Jakarta: Kalam Mulia.
[1] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam
Masa Kini, Cet. V, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm. 120.
[2] Husayn Ansarian, Membangun Keluarga yang Dicintai Allah: bimbingan
lengkap sejak pra-nikah hingga mendidik anak, Terj. Ali bin Yahya,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hlm. 292.
[3] Nigara Family, http://ilmu-ikhlas.blogspot.com/2010/07/bank-air-susu-ibu-asi-dalam-pandangan.html diakses pada 26 Maret 2013 pukul 19:43 WIB.
[4] Zuhdidh, http://zuhdidh.blogspot.com/2011/12/hukum-bank-asi.html diakses pada tanggal 26 Maret 2013 pukul 20:07 WIB.
[5] http://perbandinganmadzhabfiqh.wordpress.com/2011/05/13/bank-“asi”-dalam-perspektif-fikih-hukum-islam/ diakses pada tanggal 26 Maret 2013 pukul 19:53 WIB.
No comments:
Post a Comment