Sunday, April 21, 2013

BANK ASI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


BANK ASI
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
 
Disusun Oleh:
Khasan Fauzi
2021111067

STAIN PEKALONGAN
2013

PENDAHULUAN

Allah telah memberi rezeki kepada bayi berupa susu  bayi yang berasal dari ibunya. Susu ibu  mengandung 1,6 % Albuminoidal, 0,4 % lemak, 3,8 % gula, garam, dan beberapa vitamin. Kandungan tersebut hanya terdapat pada susu ibu, dan tidak terdapat pada yang lainnya. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada susu bagi bayi yang lebih baik dibandingkan dengan susu ibu”.
Pemerintah juga sering memberikan himbauan mengenai pemberian ASI pada bayi, yang ditujukan agar tumbuh kembang bayi bisa berjalan optimal serta dapat tumbuh sehat dan normal. Kebutuhan akan air susu ibu (ASI) telah disadari banyak kalangan. Dengan tumbuhnya kesadaran ini menyebabkan munculnya masalah baru, yakni bagi kalangan ibu yang kesulitan bahkan tidak bisa memberikan air susunya (ASI) pada bayinya, sehingga muncul ide untuk mendirikan bank ASI.
Para pendonor ASI baik itu dengan upah ataupun tidak memberikan suplai ASI kepada bank ASI, kemudian ASI tersebut didistribusikan untuk mereka yang membutuhkan. Tidak ada catatan pasti sejak kapan ide pendirian bank ASI itu muncul dan mulai dikembangkan. Dan juga tidak ada hukum yang pasti mengenai Bank ASI, apakah diperbolehkan atau tidak. Untuk itu, dalam makalah ini akan membahas tentang bank ASI menurut perspektif hukum Islam.

PEMBAHASAN
  
      A. Pengertian Bank ASI

Bank ASI merupakan wadah atau tempat untuk menyimpan dan menyalurkan ASI dari pendonor ASI, yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri kepada bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.
Semua ibu pendonor diseleksi dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker.[1] Berdasarkan hadits-hadits, seseorang seharusnya menghindari untuk memilih seorang ibu susu yang bisu, gila, pelaku kejahatan, bermata lemah, Yahudi, Kristen, Majusi, atau peminum alcohol untuk menyusui bayinya. Hal ini disebabkan kondisi (kejiwaan) mereka dapat ditransfer ke bayi melalui susu.[2]

      B. Hukum Mengenai Bank ASI
   
Seorang bayi boleh saja menyusu kepada wanita lain, bila air susu ibunya tidak memadai, atau karena suatu hal, ibu kandung bayi tidak dapat menyusuinya. Status ibu yang menyusukan seorang bayi, sama dengan ibu kandung sendiri, tidak boleh kawin dengan wanita itu, dan anak-anaknya. Dalam hukum islam disebut sebagai saudara sepersusuan. Gambaran yang dikemukakan jelas bahwa siapa wanita yang menyusukan dan siapa pula bayi yang disusukan itu hukumnya jelas yaitu sama dengan mahram. Sekarang yang menjadi perrsoalan ialah, air susu yang disimpan pada Bank ASI, maka air susu itu sama saja seperti darah yang disumbangkan untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana darah boleh diterima dari siapa saja dan boleh diberikan kepada yang memerlukannya, maka air susupun demikian juga hukumnya.
Bedanya ialah darah najis, sedangkan air susu bukan najis. Oleh sebab itu, darah baru dapat dipergunakan dalam keadaan darurat atau terpaksa. Namun timbul lagi pertanyaan bagaimana hubungan antara donor ASI dengan bayi yang menerimanya? Apakah sama dengan ar-Radha’ah atau saudara sepersusuan?
Menurut Ali Hasan, agak sukar menentukan atau mengetahui donor asli itu, sebagaimana donor darah. Dengan demikian, baik ibu “susuan”, maupun “anak susuan”, tidak saling mengenal. Hal ini berarti, masalah pemanfaatan air susu dari Bank ASI, tidak dapat disamakan dengan ar-Radhaah. Pemanfaatan air susu dari Bank ASI adalah dalam keadaan terpaksa (bukan karena haram). Sebab, selagi ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan anak itu, maka itulah sebenarnya yang terbaik. Hubungan psikologis antara si bayi dan ibunya terjalin juga dengan mesra pada saat menyusukan bayi itu. Si bayi merasa disayangi dan si ibu pun merasakan bahwa air susunya akan menjadi darah daging anak itu. Berbeda, kalau air susu yang diminum anaknya itu berasal dari orang lain. Pertumbuhan dan perkembangan anak itu, dibantu oleh pihak lain, sebagaimana air susu sapi yang kita kenal selama ini, dan makanan yang khusus dibuat (diproduksi) untuk bayi.[3]

1.    Memperhatikan
Perbedaan pendapat  mengenai Bank ASI
a.    Pendapat Pertama
menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Di antara alasan mereka sebagai berikut: Bayi yang mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi perempuan yang mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang mempunyai ASI, sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan dalam bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Ulama besar semacam Prof.Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa dia tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya “Bank ASI.” Asalkan bertujuan untuk mewujudkan mashlahat syar’iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.
Beliau cenderung mengatakan bahwa bank ASI bertujuan baik dan mulia, didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekadar menyumbangkannya. Sebab di masa Nabi (Muhammad) s.a.w., para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan Al-Qardhawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.
Selain Al-Qaradhawi, yang menghalalkan bank ASI adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.
b.    Pendapat Kedua
menyatakan bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya.
Di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya Bank ASI adalah Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhayli. Dalam kitab Fatawa Mu’ashirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syariah.
Demikian juga dengan Majma’ al-Fiqih al-Islamiy melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22–28 Desember 1985 M./10–16 Rabiul Akhir 1406 H.. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.
c.    Pendapat Ketiga
menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di antaranya : setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Prof.DR. Ali Mustafa Ya’qub, MA., salah seorang Ketua MUI Pusat menjelaskan bahwa tidak ada salahnya mendirikan Bank ASI dan Donor ASI sepanjang itu dibutuhkan untuk kelangsungan hidup anak manusia. “Hanya saja Islam mengatur, jika si ibu bayi tidak dapat mengeluarkan air susu atau dalam situasi lain ibu si bayi meninggal maka si bayi harus dicarikan ibu susu. Tidak ada aturan main dalam Islam dalam situasi tersebut mencarikan susu sapi sebagai pengganti, kendatipun zaman nabi memang tidak ada susu formula tapi susu kambing dan sapi sudah ada,” . ini berarti bahwa mendirikan Bank ASI dan donor ASI boleh-boleh saja karena memang Islam tidak mentoleransi susu yang lain selain susu Ibu sebagai susu pengganti dari susu ibu kandungnya.
Hanya saja pencatatannya harus benar dan kedua keluarga harus dipertemukan serta diberikan sertifikat. Karena 5 kali meminum susu dari ibu menyebabkan menjadi mahramnya si anak dengan keluarga si ibu susu. Artinya anak mereka tidak boleh menikah.
Menurut Prof. Ali, masalah menyusu langsung atau tidak langsung, itu hanya masalah teknik mengeluarkan susu saja, hukumnya sama. “Jika sudah 5 kali meminum susu maka jatuh hukum mahram kepada keduanya.
Terjadinya perbedaan pandangan ulama mengenai hal tersebut di atas disebabkan adanya perbedaan dalam memahami tentang apa itu “radha’ah”, berapa batasan umur, bagaimana cara menyusui dan berapa kali susuan:
a)      Pengertian ar-Radha’
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.
b)      Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)
Hadist Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ
“ Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar”(HR Bukhari dan Muslim).
c)      Jumlah Susuan
Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim)
d)     Cara Menyusu
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara “السعوطas su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara “الوجور”/al- wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.[4]

2.    Mengingat

Perdebatan dari segi dalil[5]

Setidaknya ada dua syarat penyusuan yang diperdebatkan. Pertama, apakah disyaratkan terjadinya penghisapan atas puting susu ibu? Kedua, apakah harus ada saksi penyusuan?

a.    Haruskah Lewat Menghisap Puting Susu ?

Kalangan yang membolehkan bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi minum air susu dari bank susu, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan. Sebab yang namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.
Mereka berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm, di mana beliau mengatakan bahwa sifat penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui dengan mulutnya.
Dalam fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa':23).

Menurut Ibnu Hazm, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus terjadi sebagai syarat dari penyusuan.
Sedangkan bagi mereka yang mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria menyusu harus dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah meminumnya, bukan cara meminumnya.
Dalil yang mereka kemukakan juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang menyebutkan bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi merasa kenyang.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ اُنْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ, فَإِنَّمَا اَلرَّضَاعَةُ مِنْ اَلْمَجَاعَةِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) 
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perhatikan saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu. (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Aisyah ra dia menceritakan :Diantara ayat-ayat yang diturunkan dalam Al-quran adalah sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi mengharamkan ( orang yang menyusui dan disusui menikah ), kemudian dinash ( di hapuskan ) dengan lima kali penyusuan yang dimaklumi, lalu Rasulullah saw wafat, sedang ayat tersebut masih tetap dibacakan sebagai ketetapan Al-Quran “ ( HR. Muslim dan Ibnu Majah)

b.    Haruskah Ada Saksi ?

Hal lain yang menyebabkan perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian ulama mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang menyusui saja.
Bagi kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.Sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada saksi), maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila tidak ada saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. Yang penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam tingkat yang sangat luas. Dari pada kacau balau, maka mereka memfatwakan bahwa bank air susu menjadi haram.
3.    Memutuskan
Dengan memohon rahmat serta hidayah dari Allah SWT, memutuskan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan. Tetapi jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya: setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan meregistrasi nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengkonsumsi ASI tersebut harus dicatat detail dan diberitahukan kepada pemilik ASI, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
4.    Rekomendasi
Pemberian ASI ke bayi dengan ASI yang berasal dari bank ASI sebisa mungkin untuk dihindari, karena menolak mudharat itu lebih diutamakan dari pada mengambil kemaslahatan. Untuk menghindari percampuran nasab yang akan menyebabkan masalah baru yang lebih komplek. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa dan mendesak sesekali boleh menggunakan jasa bank ASI.
Jika telah memenuhi syarat yang telah dijelaskan di atas, maka boleh saja menggunakan ASI dari bank ASI. 
      C.Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bank ASI muncul karena tumbuhnya kesadaran di kalangan masyarakat akan pentingnya ASI bagi tumbuh kembang bayi, serta banyaknya kaum ibu yang tidak bisa memberikan ASInya secara normal pada bayinya. Bank ASI merupakan tempat penampungan ASI yang kemudian ditistribusikan kepada kalangan-kalangan yang membutuhkan ASI untuk bayinya. Pemanfaatan air susu dari Bank ASI, adalah dalam keaadan terpaksa. Sebab, selagi ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan anaknya, maka itulah yang terbaik.
DAFTAR PUSTAKA

Ansarian, Husayn. 2002. Membangun Keluarga yang Dicintai Allah: bimbingan lengkap sejak pra-nikah hingga mendidik anak, Terj. Ali bin Yahya. Jakarta: Pustaka Zahra.
Mahjuddin. 2003. Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Cet. V. Jakarta: Kalam Mulia.


[1] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Cet. V, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm. 120.
[2] Husayn Ansarian, Membangun Keluarga yang Dicintai Allah: bimbingan lengkap sejak pra-nikah hingga mendidik anak, Terj. Ali bin Yahya, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hlm. 292.
[3] Nigara Family, http://ilmu-ikhlas.blogspot.com/2010/07/bank-air-susu-ibu-asi-dalam-pandangan.html diakses pada 26 Maret 2013 pukul 19:43 WIB.
[4] Zuhdidh, http://zuhdidh.blogspot.com/2011/12/hukum-bank-asi.html diakses pada tanggal 26 Maret 2013 pukul 20:07 WIB.

No comments:

Post a Comment