SYI'AH
I. Pendahuluan
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.
II. Pembahasan
1. Pengertian Syi’ah
a. Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).”1
b. Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad—pen.) masih hidup.2
c. Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan ‘Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya.3
d. Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung pengertian syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.4
e. Kata Syi’ah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syi’ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.5
f. Secara lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah saw yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.6
2. Sebab-sebab munculnya Syi’ah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.7
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi.8 Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.9
Namun demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi pula kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.10
3. Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari Itsna ‘Asyariyah.11
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.12
Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
a. Nashr bin Muhazim
b. Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
c. Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
d. Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
e. Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
f. Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
g. Ali bin Babawaeh al-Qomi
h. Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
i. Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
j. Muhammad bin Hamam al-Iskafi
k. Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
l. Ibn Qawlawaeh al-Qomi
m. Ayatullah Ruhullah Khomeini
n. Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
o. Sayyid Husseyn Fadhlullah
p. Murtadha Muthahhari
q. ‘Ali Syari’ati
r. Jalaluddin Rakhmat13
s. Hasan Abu Ammar14
4. Pokok-Pokok Ajaran Syi’ah15
1. Ajaran Syi’ah Zaidiyah
Syi’ah Zaidiyah adalah aliran syi’ah yang paling moderat. Tokoh aliran ini adalah Zaid bin Ali Zainal Abidin. Zaid berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan dan memiliki hubungan baik dengan para ulama’ di zamannya. Diantara para ulama’ yang berhubungan dan berguru dengannya adalah Washil bin Atha’ dan Abu Hanifah.
Masalah utama yang dikaji dalam aliran ini, juga dalam aliran Syi’ah lainnya, adalah tentang imamah. Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa imam seharusnya dari keturunan Ali-Fatimah, tetapi tidak menolak jika jabatan itu diduduki oleh orang lain asal memenuhi syarat. Adapun syarat-syaratnya utuk menjadi imamadalah apabila pada dirinya memiliki sifat-sifat sebagai berikut: laki-laki, baligh, berakal, muslim, alim, adil, pemberani, kuat dan berjiwa pemimpin. Dalam ensiklopedia islam disebutkan bahwa seseorang dapat diangkat menjadi imam apabila memenuhi 5 kriteria, yakni ketururnan Fatimiah binti Rasulullah, berpengetahuan luas tentang agama, zahid, berjihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata, dan berani.
Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi imam karena sifat-sifat itu terdapat dalam dirinya. Sifat-sifat tersebut adalah sifat bagi imam terbaik (al-afdlal). Tetapi pemimpin yang tidak mencapai sifat terbaik boleh juga meenjadi imam. Imam yang tidak bisa mencapai sifat-sifat imam afdlal disebut imam mafdlul. Oleh karena itu Syi’ah Zaidiyah dapat mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Ustman sebagai imam-imam mafdlul dan bukan imam-imam afdlal. Syi’ah Zaidiyah tidak mempercayai adanya imam-imam yang tersenbunyi yang diliputi oleh berbagi misteri.
Menurut Syi’ah Zaidiyah,imamah tidak harus dengan nash, tetapi boleh dengan ikhtiar atau pemilihan. Oleh karena itu, jika ahlul balli wal ‘aqdi telah memilih seorang imam dari kalangan umat Islam tetapi tidak memmenuhi sifat-sifat tadi, padahal mereka telah membaiatnya, maka keimamannya menjadi sah dan rakyat wajib membaiatnya. Selain itu, mazhab ini juga berpendapat bahwa hanyalah berfungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum syari’at sehingga ditemukan jalan keluarnya, dan hal ini tidak ditentukan harus terpelihara batinnya, seperti tidak adanya ketentuan bagi para ahli hukum agama yang mempunyai tugas untuk memecahkan persoalan agama.
Syi’ah Zaidiyah juga mempunyai paham tentang bolehnya membaiat dua imamdalam dua daerah kekuasaan yang berbeda selama mereka memiliki sifat-sifat yang telah disyaratkan sebagai imam dan selama keduanya dipilih secara bebas oleh ahlul balli wal-aqdi.
Dari uraian diatas dapat ditariahbertumpu pada legitimasi nash. Bahkan golongan ini berani keluar dari aturan dogmatis yang mengatakan bahwa imam harus berasal dari keturunan Ali.
Dari segi teologi, penganut paham Zaidiyah ini berpaham mu’tazilah. Oleh karena itu, kalau sebagian tokoh-tokoh Mu’tazilah, terutama Mu’tazilah Baghdad, berasal dari kelompok Zaidiyah. Diantaranya adalah Qadli Abdul Jabbar, tokoh Mu’tazilah terkenal yang menulis kitab Syarh Ushul al-Khamsah . Hal ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang dekat antara pendiri Mu’tazilah, Washil dan imam Zaid bin Ali. Akibatnya muncul kesan bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah berasal dari ahlul bait atau bahkan sebaliknya, justru Zaid bin Ali yang terpengaruh oleh Washil bin Atha’.
Diantara paham Syi’ah Zaidiyah yang sama dengan paham Mu’tazilah adalah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, selama mereka belum bertaubat dengan taubat yang sebenarnya. Kesamaan paham ini mengakibatkan sebagian penganut Syi’ah marah terhadap Zaid karena Washil ragu-ragu ketika menentukan posisi Ali dalam perang melawan penduduk Syam dibawah pimpinan Muawiyah. Washil tidak sepenuhnya yakin bahwa Ali berada dalam pihak yang benar. Mennurut pendapatnya, salah satu pihak pasti ada yang salah, tetapi dia tidak menjelaskan pihak mana yang salah.
2. Ajaran Syi’ah Ismailiyah
a. Imamah
Golongan Syi’ah Ismailiyah muncul setelah Abu Abdullah Ja’far Shadiq, Imam keenam wafat. Kelompok ini berpendapat bahwa yang berhak menggantikan Abu Abdullah Ja’far Shodiq adalah putranya yang bernama Isma’il. Hal itu didasarkan nash Ja’far Shodiq yang menunjuk Ismail sebagai penggantinya. Tetapi Ismail mendahului ayahnya. Walaupun Ismail telah wafat, mereka tetap menerapkan nash itu, sehingga keimaman terus berlangsung setelah Ismail wafat.
Setelah Ismail sebagai Imam ke tujuh, maka datang silih berganti imam-imam yang bersembunyi. Menurut mereka imam boleh bersembunyi bila dia merasa tidak kuat menentang lawan. Ketika Imam mereka kuat, Ubaidullah al-Mahdi, menampakkan diri dan mendirikan kerajaan Fatimiyah di Mesir, Tunis dan Maroko pada tahun 969 M.
Disamping pendapat di atas, Syi’ah Ismailiyah juga mempunyai pendapat sebagai berikut:
Pertama : limpahan chaya Ilahi dalam bentuk pengetahuan yang dilimpahkan Allah kepada para imam. Teori ini mereka jadikan landasan untuk menyatakan bahwa seorag imam memiliki derajat ilmu yang melmpaui apa yang dapat dicapai oleh manusia lainnya.
Kedua : Seorang imam tidak mesti menampakkan diri dan dikenal, tetapi dapat tersembunyi, meskipun begitu ia wajib dipatuhi. Ia adalah Mahdi yang akan memberikan petunjuk kepada manusia. Ia akan menampakkan diri pada suatu lapisn keturunan tertentu, dan pasti akan nyata. Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum ia menampakkan diri dan menegakkan keadilan di muka bumi ketika kezaliman dan kecurangan telah merajalela.
Ketiga : Seorang imam tidak bertanggung jawab kepada siapapun, dan sipapun tidak boleh mempermasalahkannya ketika ia melakukan suatu perbuatan. Sebaliknya, mereka wajib mengakui bahw semua perbuatannya mengandung kebaikan, bukan kejahatan, karena ia memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh siapapun. Dalam pengertian inilah mereka menetapkan bahwa para imam itu ma’shum, bukan dalam pengertian tidak melakukan kesalahan sebagaimana yang kita kenal. Sesuatu yang kita pahami sebagai suatu kesalahan, kadang-kadang menurut mereka adalah ilmu yang menerangi seorang imam sehingga ia boleh melakukannya, sedangkan manusia lain tidak boleh.
b. Nubuwat
Penganut Syi’ah Ismailiyah percaya bahwa bumi ini tidak akan terwujud tanpa Hujjatullah atau bukti dari Tuhan. Hujjatullah itu ada dua macam, yaitu natiq atau yang berbicara dan shamit atau yang diam. Yang berbicara adalah nabi dan yang diam adalah para imam atau wali. Seorang nabi yang diutus Tuhan mempunyai fungsi nubuwat atau kenabian yakni membawa syariat Ilahi. Nabi adalah manifestasi yang sempurna dari Tuhan yang mempunyai walayat , kemampuan, kemampuan esoteris untuk menuntun manusia ke dalam rahasia-rahasia ketuhanan.
c. Sifat Tuhan
Syi’ah Ismailiyah ini termasuk aliran yang menolak pendapat bahwa Tuhan memiliki sifat (antropomorphisme). Menurut mereka bila Tuhan memiliki sifat maka Tuhan sama dengan makhluk-Nya. Sikap seperti ini mereka ambil dalam rangka mensucikan Tuhan (tanzib), sampai pada hal yang berhubungan dengan wujud Tuhan mereka pun menolaknya. Dalam persoalan sifat Tuhan ini, mereka mengutip perkataan Muhammad ibn Ali al-Baqir:
“Karena Allah memberikan pengetahuan kepada orang-orang yang mengetahui, kami berkata mengenai Dia bahwa Dia mengetahui, dan karena Dia memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan, kami berkata mengenai Dia bahwa Dia berkuasa. Oleh karena itu, Dia mengetahui dan berkuasa, bukan dalam pengertian bahwa pengetahuan dan kekuasaan terdapat dalam diri-Nya atau bahwa pengetahun dan kekuasaan merupakan kualitas yang Dia miliki”.
Jadi, terhadap ungkapan seperti Tuhan berkuasa dan Tuhan mengetahui itu mereka artikan dengan Tuhanlah yang memberi kekuasaan dan pengetahuan, bukan berarti pengetahuan dan kekuasaan itu melekat pada zat Tuhan. Begitu pula terhadap unsur-unsur yang menurut aliran yang lain menjadi sifat atau nama Tuhan, mereka melakukan hal yang sama.
3. Ajaran Syi’ah Itsna Asy’ariyah
a. Imamah
Sebagaimana kelompk Syi’ah yang lain, ajaran yang paling utama dalam Syi’ah Itsna Asyaiyah adalah masalah imamah. Bagi kelompok ini, imamah adalah posisi ilahiyah bagi kepemimpinan spiritual dan temporal kaum muslimin. Pandangan mereka itu didasarkan pada Surat Al-Baqarah : 124.
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".
Dari ayat tersebut, kelompok Syi’ah Itsna Asy’ariyah merumuskan tujuh butir mendasar menganai imamah, yaitu sebagai berikut:
1. Imamah adalah hak prerogatif Allah
2. Imam harus terhindar dari dosa dan khilaf karena pemeliharaan Ilahi
3. Selama manusia ada di muka bumi, tidak mungkin tidak ada imam yang sejati
4. Imam harus didukung oleh Allah, yang Maha Agung
5. Perbuatan manusia tidak terlepas dari penglihatan imam
6. Imam harus mempunyai pengetahuan tentang semua yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya dan juga persiapan bagi kehidupan mati
7. Mustahil seseorang melampaui imam dalam kualitas-kualitas sublimnya.
Karena imamah adalah hak prerogatif Allah melalui nabi, maka kelompok ini berpendapat bahwa imam yang sah untuk menggantikan Nabi Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib karena beliau pilihan Nabi Muhammad dan ia orang yang paling utama. Dalam pandangan mereka, kedudukan Ali satu tingkat lebih tinggi dari pada manusia biasa, dan ia merupakan perantara antara manusia dan Tuhan. Oleh karena itu, menurut mereka, Abu Bakar dan Umar adalah orang yang telah merampas jabatan khalifah dari Ali sebagai pemilik yang sah. Sebagai konsekuensi dari kepercayaan bahwa imam adalah pilihan Allah yang kehadirannya menjadi penjaga bagi kepentingan agama. Oleh karena itu, ijma’ atau kesepakatan ulama islam baru dapat dianggap sebagai salah satu dasar hukum islam kalau sudah direstui oleh imam.
Sebagai konsekuensi dari keyakinan mereka bahwa selama manusia ada di muka bumi, tidak mungkin tidak ada imam yang sejati, maka mereka berkeyakinan bahwa imam yang ke dua belas meskipun sudah menghilang sejak umur lima tahun, namun sampai sekarang masih hidup dan kelak akan muncul kembali di dunia. Sejak kehilangannya pada tahun 260 H, selama 69 tahun berikutnya imam ke dua belas itu terus berhubungan dengan para pengikut dan pendukungnya melalui empat wakil atau dutanya yang menyampaikan kepada mereka keputusan dan fatwa imam. Periode ini dinamakan ghaibah sughra atau “ketidak hadiran (imam) kecil. Empat wakil atau duta imam itu adalah : Utsman bin Said al-Umri, Abu Ja’far Muhammad bin Utsman, Abu Qasim al-Hussein bin Ruh al-Khullani dan Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Samiri, yang meninggal pada tahun 329 H tanpa ada penggantinya, dan pengikut serta para pendukungnya. Periode sejak meninggalnya wakil atau duta keempat tersebut sampai munculnya kembali imam ke dua belas sendiri nanti dinamakan ghaibah kubra atau “ketidak hadiran (imam) besar”, dan dengan putusnya hubungan antara imam dan para pendukungnya, maka timbullah masalah baru.
Sesuai dengan ajaran Imamiyah Itsna Asyariyah, selama imam-imam yang maksum itu ada dan hadir, hukum yang berlaku adalah hukum yang diberikan oleh imam-imam itu. Apa yang mereka perintahkan adalah perintah Allah dan apa yang mereka larang adalah larangan Allah. Tetapi dengan mulainya periode ghaibah kubra dan putusnya hubungan dengan imam kedua belas, sedangkan kebuthan kepada keputusan dan petunjuk justru makin mendesak disebabkan oleh terjadinya peristiwa-peristiwa penting dan perkembangan politik yang bertalian dengan bangunnya dinasti Buwaihi, maka di kalangan ulama ahli fiqh Itsna Asyariyah timbul tuntutan agar dapat dilakukan ijtihad dalam bidang-bidang tertentu. Untuk maksud tersebut diperlukan semacam “wilayah” atau kekuasaan yang dipercayakan kepada seorang alim, yang memenuhi semua syarat untuk dibenarkan memberikan fatwa dan petunjuk atas nama imam yang dinantikan itu dan mewakilinya selama imam itu sendiri belum muncul kembali. Dan pada waktu itulah mulai berkembamg konsepsi wilayah al-faqih yang dapat diartikan “kekuasaan ilmuan agama”.
Selain memiliki ajaran dalam masalah imamah, Syi’ah Itsna Asyariyah juga memiliki ajaran dalam masalah teologi. Adapun ajaran-ajaran kelomok ini dalam masalah teologi antara lain adalah tentag Tuhan, janji dan ancaman Tuhan, posisi diantara dua posisi, keadilan Tuhan serta Qadar dan Taqdir.
b. Sifat Tuhan
Menurut Itsna Asyariyah, esensi Tuhan bersifat immateri sehingga Dia tidak memiliki sifat-sifat kejasmanian. Tuhan mustahil dibatasi oleh ruang dan waktu. Ali bin Abi Thalib, panutan Syi’ah, membuat pernyataan tegas yang menolak pandangan kejasmanian Allah dan menempatkan Allah diatas kualitas-kualitas yang dapat disifatkan pada makhluk-Nya.
Mereka yang mengklaim dapat disamakan dengan-Mu menzalimi-Mu ketika menyamakan-Mu dengan berhala-berhala mereka, secara keliru meletakkan pada-Mu, dan suatu sifat yang mungkin cocok bagi ciptaan-Mu ,dan secara tersirat mengakui bahwa Engkau tersusun dari bagian-bagian seperti hal-hal material.
Syi’ah Itsna Asyariah, sebagaimana kaum muslim lainya, meyakini keesaan Allah yang meliputi dua jenis, pertama Esa dalam esensi (zat)–Nya dan kaniscayaan eksistensi–Nya. Dia ada dengan sendiri–Nya. Dia di luar setiap materi dan secara potensi tidak tersusun dari sesuatu apapun. Dia tidak tumbuh dan berkembang menjadi wujud–wujud lain, baik dalam bentuk gagasan maupun bentuk nyata. kedua, sifat–sifat Allah mempunyai sifat dasar yang sama sebagaimana halnya Zat-Nya. Ada dua jenis sifat Allah, yaitu sifat yang positif dan sifat yang negatif. Sebagian sifat positif Allah antara lain : Maha Hidup, Maha Tahu, Maha Kuasa, dan kekal. Oleh karena itu Allah itu disebut juga Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Kekal, Maha Adil, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui.
Sedangkan sifat–sifat negatif Allah adalah bahwa Allah lepas dan jauh dari setiap keterbatasan. Sifat-sifat ini juga disebut sifat-sifat keagungan atau Kemuliaan yang memustahilkan Dia diciptakan. Maksudnya sifat-sifat itu membuktikan bahwa Dia itu berdiri sendiri, lepas dan jauh dari hal-hal seperti keterbagi-bagian, kejasmaniahan, menempati ruang, kelemahan dan kekurangan, dan mengalami inkarnasi (terwujud dalam bentuk manusia). Sehingga dapat dikatakan bahwa Allah tidak berjasad, tidak berbentuk, dan tidak mempunyai cacat. Pendeknya, Dia terhindar dan jauh dari setiap sifat dari wujud yang relatif.
c. Janji dan Ancaman Tuhan
Janji adalah Janji Allah untuk memberi pahala pada orang-orang yang taat, sedangkan ancaman adalah ancaman Allah untuk menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat. Janji dan Ancaman Tuhan itu pasti akan dilaksanakan. Tak seorangpun akan dikecualikan. Hal ini sesuai dengan apa yang diinformasikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan sesuai dengan keadilan Allah. Allah tidak akan disebut adil, jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah sebagaimana janji Allah.
Syi’ah Itsna Asyariyah mengatakan bahwa Tuhan pasti melaksanakan janji-janji-Nya. Akan tetapi , Dia melakukan hal demikian itu bukan karena keterpaksaan. Dia niscaya akan memenuhi janji-janji-Nya karena ini sesuai dengan keadilan dan kemestian, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip ini berarti tdak konsisten. Meskipun demikian, Dia tidak wajib atau harus bertindak sesuai dengan prinsip itu, dengan pengertian bahwa Dia wajib, lebih dari sekedar pilihan moral, untuk berbuat demikian.
d. Keadilan Tuhan
Keadilan adalah salah satu sifat Tuhan dan menjadi salah satu nama-Nya yang indah. Dia tidak sewenang-wenang. Dia telah bebas dari sifat zalim dalam pertimbangan-Nya. Dia telah menegaskan bahwa Dia jauh dari sifat aniaya sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nisa’ : 40.
إِنَّ اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya seseoarang walau seberat atom pun, dan jika ada kebajikan seberat atom, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’’.
Akibat diktum bahwa Allah itu adil, maka sejumlah pertanyaan pelik muncul. Di antaranya adalah kebebasan kehendak pada manusia dan fakta bahwa Allah tidak mungkin tidak adil dan di sisi lain fakta bahwa Allah Maha Kuasa. Menurut Asy’ari, kekuasaan Tuhan itu mutlak. Dalam hal ini Syi’ah Imamiyah, termasuk di dalamnya ada Syi’ah Itsna Asyariyah berpandangan sebagaimana yang di kemukakan oleh teolog Imamiyah terkemuka, Syaikh al-Mufid: Allah Maha Adil, Maha Pemurah. Dia menciptakan manusia untuk menyembah-Nya dan melarang manusia membangkang kepada-Nya. Dia tidak akan membebani seseorang dengan kewajiban di luar kemampuanya. Penciptaan-Nya jauh dari asal-asalan dan tindakan-Nya jauh dari semena-mena. Dia jauh dari mencampurtangani tindakan hamba-Nya dan jauh dari memaksa manusia melakukan suatu perbuatan. Dia tidak menghukum seorang hamba kecuali karena melakukan perbuatan dosa dan tidak mengutuk manusia kecuali karena melakukan tindakan jahat. Dia tidak berbuat zalim, bahkan seberat atom pun.
e. Perbuatan manusia
Kaum Mu’tazilah memandang bahwa manusia mempunyai daya yang besar dan bebas dalam mewujudkan perbuatannya. Manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.
Di posisi yang bersebrangan, kaum Asy’ariyah memandang manusia sebagai makhluk lemah, sehinga banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Menurut Asy’ari, manusia memang bisa melakukan ikhtiar, namun ikhtiar tersebut tidak berpengaruh sedikitpun bagi terwujutnya suatu perbuatan. Oleh karena itu, manusia bukanlah makhluk bebas yang bisa menentukan sendiri perbuatanya. Semua perbuatan manusia adalah ditentukan oleh Tuhan.
Sementara Syi’ah Imamiyah, termasuk Syi’ah Itsna Asyariyah mengambil sikap tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sikap ini disebut “posisi antara dua posisi”, al-amr bain al-amrain. Sikap ini dilontarkan pertama kali oleh Imam Ja’far Muhammad al-Shadiq (w. 148 H/765 M) dengan pernyataannya, “Bukan Jabbariyah atau pemberian kuasa, melainkan posisi antara dua posisi”.
Menurut Kaum Syi’ah Imamiyah ini, tindakan-tindakan manusia itu dilakukan manusia sendiri setelah Allah menanamkan dalam diri manusia kemampuan untuk melaksanakan atau menghindari tindakan itu. Kebaikan dan kejahata dilakukan karena kehendak bebas manusia, maksudnya, manusia mempunyai pilihan untuk melakukan salah satu darinya atau meninggalkannya. Allah yang Maha Suci menghimbau hamba-Nya untuk melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik.
5. Sekte-sekte Syi’ah
Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah golongan Isma’iliyah.16
Selain itu terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat (Syi’ah sesat), dan Isma’iliyah.17 Sedangkan al-Asy’ari membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.18
Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu Sekte Imamiyah (yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah.19
Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai berikut:
A. Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.
B. Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.
C. Zaidiyah: Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.20
III. Penutup
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb
Catatan Kaki :
1. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. Ke-4, H. 5.
2. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 904.
2. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 904.
3. Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), cet. Ke-, h. 343.
4. Soekarno Karya. Dkk.. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet. Ke-1, h. 125.
5. Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.
6. http://www.al-shia.com/html/id/shia/moarrefi/1.htm
7. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h.5.
8. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11.
9. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), h. 17-21; http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm
10. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5.
11. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13-15.
12. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 15.
13. Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait/Syi’ah Indonesia.
14. Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni.
15. Amat zuhri,Warna-Warni Teologi Islam (Ilmu Kalam),Pekalongan: STAIN Press,2008,h.43-55.
16. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 6.
17. Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), cet. ke-1, h. 572.
18. Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 572.
19. Sou’yb, Pertumbuhan…, h. 13-196.
20. Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 575-576.
4. Soekarno Karya. Dkk.. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet. Ke-1, h. 125.
5. Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.
6. http://www.al-shia.com/html/id/shia/moarrefi/1.htm
7. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h.5.
8. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11.
9. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), h. 17-21; http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm
10. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5.
11. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13-15.
12. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 15.
13. Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait/Syi’ah Indonesia.
14. Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni.
15. Amat zuhri,Warna-Warni Teologi Islam (Ilmu Kalam),Pekalongan: STAIN Press,2008,h.43-55.
16. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 6.
17. Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), cet. ke-1, h. 572.
18. Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 572.
19. Sou’yb, Pertumbuhan…, h. 13-196.
20. Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 575-576.
IV. Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, ed. 2003. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Aceh, Abubakar. t.t. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani.
Al-Hafni, Abdul Mun’im. 2006. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.
Al-Nemr, Abdul Mun’eim. 1988. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah. T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Karya, Soekama, dkk. 1996. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Sou’yb, Joesoef. 1982. Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Zuhri, Amat. 2008. Warna-Warni Teologi Islam (Ilmu Kalam). Pekalongan: STAIN Press.
http://www.al-shia.com
http://www.ijabi.org
No comments:
Post a Comment